Kamis, 27 Desember 2012

JIWA

JIWA DALAM ISLAM (Al-qur’an dan al-sunnah) A. Pengertian Jiwa Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk) Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari, padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) . Dalam al-mu’jam al-falsafy, kata al-nafs diartikan dengan merujuk kepada tiga versi pendapat; Aristoteles, dengan permulaan kehidupan (vegetative), Kelompok Spiritual (al-ruh) mengartikannya sebagai jauhar (substansi) ruh, dan yang lainnya mengartikan sebagai jauhar (substansi) berfikir . Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir. Jauhar tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basit (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya. Tidak boleh sifat banyak atau sedikit yang menguasainya, meskipun berada di setiap hewan di alam ini, ia tetap dalam makna yang satu . Apa yang dikemukakan Aristoteles merupakan pemahaman umum para filosof Yunani di zamannya. Salah satunya golongan filosof Yunani, Masya’in, mereka mengatakan bahwa jiwa itu bukan fisik dan bukan kefanaan, tidak berada di suatu tempat, tidak memiliki ukuran panjang, lebar, kedalaman, warna, bagian, tidak pula berada di alam ini atau di luarnya, tidak bisa diserupakan dan dibedakan Para filosof Yunani termasuk Aristoteles tampaknya memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materiil, sebagai sesuatu yang membutuhkan ruang dan tempat. Ia bersifat gradual dan tercecer ke mana-mana yang tidak punya ukuran sama sekali. Tetapi ia ada pada setiap makhluk yang punya roh, dan memiliki fungsi dalam gerak makhluk. Sesuatu yang tidak memiliki fisik tetapi punya fungsi maka bagi penulis ini adalah sesuatu yang majhul. Karena semua makhluk pasti memiliki fisik dan menempati ruang dan waktu, walaupun berbeda-beda ketampakannya. Menurut al-Qusyairi, roh, jiwa, dan badan adalah satu komponen (jumlah) yang membentuk manusia, yang sebagiannya tunduk kepada sebagian yang lain. Di kalangan ulama ahlu sunnah, terkadang mereka sepakat tentang jiwa dan ruh dalam satu aspek, tetapi ia berbeda pada aspek yang lain. al-Qusyaery mencontohkan, Ibnu Abbas dan Ibnu Habib keduanya sepakat bahwa ruh adalah kehidupan atau sumber kehidupan. Keduanya juga sepakat bahwa jiwalah yang diwafatkan saat manusia sedang tidur. Tetapi menurut Ibnu Habib jiwa adalah syahwatiah (kesyahwatan) yang merasakan kelezatan dan merasakan sakit, Sedangkan Ibnu Abbas menganggapnya sebagai akal yang mengetahui, membedakan dan memerintah. Pendapat keduanya tentang jiwa yang diwafatkan saat manusia tidur ditentang oleh sebagai muh}aqqiq ahlu sunnah yang berpendapat bahwa rohlah yang berpisah dan terangkat saat manusia sedang tidur dan bukan jiwa. B. Jiwa dan Ruh Dalam Al-Quran Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan d{amir seperti نفسي, أنفسكم . Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz| al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam. Jika ditelusuri dalam kamus al-Qur’an, kata al-nafs setidaknya mempunyai 10 arti ; 1. Al-Qalb (Hati) seperti dalam Q.S. Qaf : 16 • وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16)... 2. Minkum (dari kalian) seperti dalam Q.S. Al-Taubah : 128 • لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم... 3. Al-insa>n (manusia), seperti dalam Q.S. al-Maidah : 32 • مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا... 4. Ba’d{ukum (sebagian di antara kalian), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2:54 • فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ... 5. Al-ruh (roh), seperti dalam Q.S. al-Zumar : 42 • اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا... 6. Ahli al-di>n (ahli agama), seperti dalam Q.S. Al-Nisa :29 • وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)... 7. Diri manusia, seperti dalam Q.S. al-Nisa : 66 • وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ... 8. ‘uqubat (balasan/hukuman), seperti dalam Q.S. Ali Imran/3 :28 • وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)... 9. Al-umm (ibu), seperti dalam Q.S. Al-Nur : 12 • لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)... 10. Al-gaib (gaib), seperti dalam Q.S. al-Maidah/4: 116 • تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116)... Memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang al-nafs jumlahnya jauh lebih banyak dari pada Al-ruh. Dalam beberapa ayat, ketika Tuhan menyebut kata al-nafs, yang dimaksudkan di dalamnya adalah Al-ruh. Sebab itu menurut kesimpulan penulis, hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari Al-ruh. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari Al-ruh. Hal tersebut di dasari dengan beberapa alasan; 1. Kata Al-ruh (roh) di dalam al-Quran selalu disebutkan dengan bentuk mufrad (tunggal), Al-ruh, tidak ada yang berbentuk jamak (plural) al-arwah. Berbeda dengan kata al-nafs disebutkan dalam bentuk tunggal maupun plural. 2. Tidak ada kata Al-ruh di dalam al-Quran yang mengandung arti roh itu sendiri, ataupun jiwa. Ketika Allah menyebut Al-ruh, yang dimaksudkan justru malaikat Jibril, kekuatan dari-Nya, atau Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa kata Al-ruh digunakan pada sesuatu yang lebih utama dari sekedar dipahami secara sederhana sebagai hembusan nafas, atau substansi yang mewujudkan proses hidup tubuh manusia. Dapat dipahami bahwa Al-ruh (dalam makna ruh Tuhan, al-Quran atau malaikat Jibril) adalah hakekat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang sempurna. Asal segala kehidupan, yang memancarkan sinaran petunjuk kepada jiwa yang berkelana dalam kehidupan fisik manusia. 3. Semua kata Al-ruh merupakan ungkapan transeden Tuhan, bahkan beberapa ayat, ketika Allah swt menyebut kata Al-ruh, Ia mengaitkannya dengan diri-Nya (ruhi), ini menunjukkan bahwa ruh memiliki unsur ketuhanan di dalamnya. Berbeda dengan kata al-nafs, Allah swt menyebutkannya dengan sangat plural, hingga mengklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, kehidupan baik maupun kehidupan buruk. Sebab itu jiwa memiliki unsur ketuhanan sekaligus memiliki unsur syaitaniyah. Dua ranah kehidupan dalam diri manusia yang selalu bertarung sepanjang hidupnya. Siapa pemenang, dialah yang akan menentukan pilihan dan mengendalikan tindakan. Beberapa ayat menyebutkan kata al-nafs dengan arti roh, yang berkaitan langsung dengan jasad manusia sebagai komponen fisik manusia. pada aspek ini kata al-ruh dengan al-nafs memiliki kedekatan makna, al-nafs berarti bernafas dan al-ruh yang jika di jamakkan al-arwah adalah penentu hidup atau matinya manusia. Dalam bahasa keseharian jika ia tidak bernafas lagi maka rohnya sudah tiada. C. Istilah jiwa dalam hadits Rasulullah SAW Selain dalam Al-Qur’an, beberapa hadist Rasulullah saw. juga menyinggung persoalan jiwa. Sama halnya dengan Al-Qur’an kata nafs (jiwa) juga digunakan dalam makna yang beragam. Dalam hadist Rasulullah saw., penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya; Nafs dalam arti perasaan dan perilaku Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), maupun ihsaas (sensasion) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku. Seperti beberapa hadist berikut; Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw., keluar dari kediaman saya dengan perasaan gembira (thibb an-nafs). Akan tetapi ketika kembali beliau terlihat sedih sehingga saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab, “Sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam Ka’bah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau saya tadi tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan memberatkan umat saya yang dating kemudian.” (HR. Muslim). Dalam hadist lain, Rasulullah saw. mengisyaratkan bahwa ketenangan dan ketenteraman hati seorang mukmin sangat terkait dengan keridhaan Allah swt. dan pencapaian pahala dari-Nya. Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Suatu pagi, Rasulullah saw. Terlihat gembira (thibb an-nafs). Bisa-bisa kegembiraan tersebut terpancar jelas dari wajah beliau sehingga para sahabat berkomentar, “Wahai Rasulullah saw., engkau terlihat gembira sekali hari ini. Wajah engkau tampak berseri-seri. Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Benar, tadi malaikat datang kepadaku dari Tuhanku azza Wajalla dan seraya berkata, “siapa saja di antara umatmu yang bershalawat satu kali kepada mu maka Allah swt. Akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahannya, mengangkat derajatnya sepuluh tingkat, serta menjauhkannya dari kebalikannya (kehinaan) sebanyak itu pula.”” (HR. Ahmad). Lebih lanjut, Rasulullah saw. juga menerangkan bahwa fitrah (karakter dasar) manusia adalah baik (cenderung kepada kebaikan) dan sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai tolak ukur (hakim) terhadap apa-apa yang akan dilakukan atau diusahakannya. Artinya, jika nurani merasa tenang dan mantap terhadap sesuatu maka sesuatu itu halal dan baik. Sebaliknya, jika nurani menentang maka hal itu menandakan sesuatu itu dosa dan penyimpangan dari kebenaran. Walaupun demikian, walaupun demikian, hal tersebut mempunyai persyaratan bahwa nurani yang dimaksud adalah yang senantiasa berserah diri kepada Allah. Diriwayatkan bahwa Muslim bin Musykam berkata bahwa dia mendengar al-Khusyani berkata, “saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘beri tahukanlah kepada saya bagaimana caranya mengetahui bahwa sessuatu itu di halalkan atau diharamkan bagi saya.’ Rasulullah saw. Kemudian berdiri. Setelah meluruskan pandangannya beliau bersabda, “Sesuatu yang baik itu adalah yang membuat perasaan (nafs) tenteram dan hati tenang. Sebaliknya, dosa itu adalah yang membuat perasaan tidak tenang dan hati gelisah sekalipun orang banyak memberikan fatwa.” (HR. Ahmad). 2. Nafs dalam arti zat atau esensi manusia Disamping makna di atas, kata nafs juga dipakai dalam arti zat/esensi manusia itu sendiri yang dengan keberadaannya setiap tindakan manusia menjadi bernilai. Seperti dalam hadist Rasulullah saw.; Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin Amru bin ‘Ash, “Engkau orang yang senatiasa puasa sepanjang hari dan melakukan shalat sepanjang malam?” Abdullah menjawab, “Benar.” Rasulullah saw. kemudian berkata, “Jika kamu teruskan kebiasaan seperti itu maka matamu akan sakit dan jiwamu akan menjadi letih. Tidak dibolehkan melakukan puasa dahr (setiap hari). Berpuasa tiga hari (disetiap pertengahan bulan) adalah laksana berpuasa sepanjang tahun.”Abdullah lalu berkata, “Akan tetapi, saya measa sanggup melakukan yang lebih dari itu.” Rasulullah saw. selanjutnya menjawab, “Jika demikian maka berpuasalah seperti puasanya Dawud a.s., yaitu berpuasa sehari kemudian berbuka sehari…” (HR Bukhari). Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda, “Mimpi itu muncul dari tiga sumber: ucapan batin (nafs) manusia, gangguan setan, serta berita gembira dari Allah swt.. oleh karena itu, siapa yang bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya maka janganlah menceritakannya kepada orang lain, tetapi hendaklah ia segera bangun dan melakukan shalat.” (HR. Bukhari). 3. Nafs dalam arti ruh manusia Lafaz nafs kebanyakan dipergunakan dalam makna ruh. Dalam hal ini bisa dilihat dari beberapa hadist berikut; Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan dosa besar. Beliau lalu menjawab,“Mempersekutukan Allah swt. Durhaka terhadap kedua orang tua, membunuh jiwa dan melakukan sumpah palsu.” (HR Bukhari). Abu Hurairah r.a juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “hindarilah tuuh perkara yang menghancurkan!”. Para sahabat lalu bertanya, “apa saja ke tujuh perkara itu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, Mempersekutukan Allah swt., (melakukan) sihir, membunuh jiwa yang diharankam Allah swt. Kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh perempuan mukmin yang baik dan shaleh (melakukan perbuatan perzinaan.”(HR Bukhari). Beberapa hadist di atas hanya sebagai contoh lafaz nafs yang menjadi referensi utama dalam kajian jiwa. Tentu masih banyak hadist-hadist yang lainnya yang menjelaskan secara lebih detail hingga sifat-sifat, karakter dan tabiat jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar