Jumat, 10 Mei 2013

tugas


A. Pendahuluan
Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.( Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I, 1996, hlm. 389).  Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.  Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.(Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm.3). Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij; bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah. Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.
Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multi-interpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, dalam menentukan tempat-tempat yang qath’i dan dzanni serta berapa jumlahnya juga masih diperdebatkan. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.




B. Sebab – Sebab Terjadinya  Ikhtilaf
Sebab-sebab ikhtilaf dapat disimpulkan dan diklasifikasikan ke dalam empat sebab utama:
1.      Perbedaan pendapat tentang valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.      Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasi-kannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3.      Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4.      Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.
Disamping sebab utama di atas, masih ada lagi hal-hal yang meniscayakan adanya perbedaan dalam Islam, yaitu: (1) Allah telah memberikan kapasitas intelektual manusia (thaqah basyariyah) berbeda-beda sehingga dalam menangkap pesan dan makna syariat juga berbeda-beda. (2) Latarbelakang politik, pendidikan, budaya, sosial. (3) Berbagai kepentingan baik politik, ekonomi maupun dakwah. (4) penentuan skala prioritas dalam menjalankan syariat Islam antara mendahulukan misi dakwah atau penegakan hukum.

C. Contoh Ikhtilaf di Kalangan Sahabat Nabi
Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani Quraidhah. Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Ibunda Aisyah tentang Rasulullah ketika Isra’ dan Mi’raj, apakah Beliau melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya. Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan tentang shalat di Mina pada musim-musim haji, di-qashar atau disempurnakan.
Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu Ad-Dukhan (asap atau kabut). Dan masih banyak lagi yang lainya. Semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, bahkan mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati. Bahkan, malaikat-pun juga berbeda pendapat, yaitu ketika seorang yang telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu meninggal dunia dalam perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga. Perbedaan pendapat dan sikap diantara kedua malaikat tersebut tidak sampai menyebabkan mereka berbecah belah, saling menghujat, bertikai dan saling menjatuhkan, justeru mereka tetap saling menghormati dan menghargai. Kisah ini terdapat dalam riwayat-riwayat sahih.
Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi dalam sunannya menyebutkan: Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Aku tidak suka kalau mereka (para Ulama’) tidak berikhtilaf (berbeda pendapat).” Kemudian Beliau mengirimkan (perintah) ke seluruh negeri-negeri, agar setiap kaum memutuskan (perkara) sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para Fuqaha’ (Ulama’) mereka. (Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomer 641, Maktabah Syamilah).
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ قِيلَ لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ : لَوْ جَمَعْتَ النَّاسَ عَلَى شَىْءٍ. فَقَالَ : مَا يَسُرُّنِى أَنَّهُمْ لَمْ يَخْتَلِفُوا. قَالَ : ثُمَّ كَتَبَ إِلَى الآفَاقِ وَإِلَى الأَمْصَارِ : لِيَقْضِ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فُقَهَاؤُهُمْ.

‘Aun bin Abdillah berkata: “Aku tidak suka seandainya para sahabat Nabi tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka ia telah meninggalkan sunnah. Tapi kalau mereka berikhtilaf (berbeda pendapat), dan orang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, ia tetap berpegang kepada sunnah.” (Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomer 642, Maktabah Syamilah).
عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : مَا أُحِبُّ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَخْتَلِفُوا ، فَإِنَّهُمْ لَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى شَىْءٍ فَتَرَكَهُ رَجُلٌ تَرَكَ السُّنَّةَ ، وَلَوِ اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ أَحَدٍ أَخَذَ بِالسُّنَّةِ.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawanya menyebutkan:
“Ada seorang yang menulis kitab tentang ikhtilaf, lalu Imam Ahmad mengatakan: “Jangan kamu beri nama “Kitab Ikhtilaf”, tapi berilah nama “Kitab Sunnah”.
Oleh karena inilah, sebagian Ulama’ mengatakan bahwa, ijma’ mereka (para ulama’ atau para sahabat) adalah hujjah yang pasti dan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas.
وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ ” كِتَابُ الِاخْتِلَافِ ” فَقَالَ أَحْمَد : سَمِّهِ ” كِتَابَ السِّعَةِ ” وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى { لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ } .
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Aku tidak suka kalau para sahabat Nabi tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena apabila mereka bersepakat atas suatu pendapat, lalu ada orang yang menyelisihinya, tentulah orang tersebut tersesat. Namun, apabila mereka (para sahabat Nabi) berikhtilaf, lalu ada orang mengambil pendapat yang ini dan orang lain mengambil pendapat yang itu, tentulah dalam hal ini terdapat keluasan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimyyah 7/250, Maktabah Syamilah)
وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَقُولُ : مَا يَسُرُّنِي أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لِأَنَّهُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ .

D. Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
Perbedaan pandangan dan mazhab kerapkali memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam, haruskah demikian? Bagaimana seharusnya hal itu disikapi? Berikutmya cara menyikapi sebuah perbedaan:
1.            Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.            Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.            Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah.
4.            Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5.            Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6.            Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.            Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8.            Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan (truth claim) dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
9.            Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10.        Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) –dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah)– sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim.
11.        Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
12.        Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu!

F. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf dalam Menyikapi Ikhtilaf
Para sahabat Rasul dan para pengikutnya serta imam mazhab adalah generasi terbaik dalam hal kedalaman dan keluasan ilmunya, sekaligus generasi yang paling toleran dalam menghadapi perbedaan. Di bawah ini beberapa contoh penyikapan mereka terhapat perbedaan:
1. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata: ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
عن يحيى بن سعيد قال : « ما برح المستفتون يستفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحلل هلك لتحليله ولا يرى المحلل أن المحرم هلك لتحريمه

2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ”Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
قال يونس الصدفي: ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة (6).

3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
قال : سمعت سفيان ، يقول : « ما اختلف فيه الفقهاء ، فلا أنهى أحدا من إخواني أن يأخذ به »

6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
مالك بن أنس يقول : « لما حج أبو جعفر المنصور دعاني فدخلت عليه فحدثته وسألني فأجبته ، فقال : إني قد عزمت أن آمر بكتبك هذه التي وضعتها – يعني الموطأ – فينسخ نسخا ثم أبعث إلى كل مصر (1) من أمصار المسلمين منها نسخة وآمرهم أن يعملوا بما فيها لا يتعدون إلى غيره ، ويدعون ما سوى ذلك من هذا العلم المحدث ؛ فإني رأيت أصل العلم رواية أهل المدينة وعلمهم قال : فقلت : » يا أمير المؤمنين ، لا تفعل فإن الناس قد سبقت إليهم أقاويل وسمعوا أحاديث ورووا روايات وأخذ كل قوم بما سبق إليهم وعملوا به ودانوا به من اختلاف الناس أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وغيرهم ، وإن ردهم عما اعتقدوه شديد ، فدع الناس وما هم عليه وما اختار كل أهل بلد لأنفسهم ، فقال : لعمري لو طاوعتني على ذلك لأمرت به وهذا غاية في الإنصاف لمن فهم «
6. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
وَصَلَّى أَبُو يُوسُفَ خَلْفَ الرَّشِيدِ وَقَدْ احْتَجَمَ وَأَفْتَاهُ مَالِكٌ بِأَنَّهُ لَا يَتَوَضَّأُ فَصَلَّى خَلْفَهُ أَبُو يُوسُفَ وَلَمْ يُعِدْ 
7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang, ”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
وَكَانَ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ يَرَى الْوُضُوءَ مِنْ الْحِجَامَةِ وَالرُّعَافِ فَقِيلَ لَهُ : فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ خَرَجَ مِنْهُ الدَّمُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ . تُصَلِّي خَلْفَهُ ؟ فَقَالَ : كَيْفَ لَا أُصَلِّي خَلْفَ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَمَالِكٍ
8. Imam Abu Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras. (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
كان أبو حنيفة وأصحابه والشافعي وغيرهم رضي الله عنهم يصلون خلف أئمة المدينة من المالكية وغيرهم وان كانوا لا يقرؤون البسملة لا سرا ولا جهرا
9. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
وصلى الشافعي رحمه الله الصبح قريبا من مقبرة أبي حنيفة رحمه الله فلم يقنت تأدبا معه
10. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).
عن القاضي أبى يعلى (الفراء) أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد فسأله عن بلده فأخبره فقال له إن أهل بلدك كلهم يقرأون مذهب الشافعى فلماذا عدلت أنت عنه الى مذهبنا فقال له انما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت فقال ان هذا لا يصلح فانك اذا كنت فى بلدك على مذهب أحمد وباقى أهل البلد على مذهب الشافعى لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا بل كونك على مذهب الشافعى حيث أهل بلدك على مذهبه أولى ودله على الشيخ أبى اسحاق وذهب به اليه فقال سمعا وطاعة


DAFTAR RUJUKAN

Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie. Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I, 1996
Prof. Dr. Abu Zahrah. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi. Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t
Adz-Dzahabi. Tadzkiratul Huffadz. (Maktabah Syamilah).
Adz-Dzahabi. Siyaru A’lam An-Nubala. (Maktabah Syamilah).
Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi. Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, (Maktabah Syamilah).
 Aali Ibn Taimiyah. Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi. (Maktabah Syamilah).
Ad-Dahlawi. Al-Inshaf . (Maktabah Syamilah).
Al-Khathib Al-Baghdadi. Al-Faqih wal Mutafaqqih. (Maktabah Syamilah).
Ibn Abdil Barr. Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih. (Maktabah Syamilah).
Taqiyuddin Ibn Taimiyyah. Majmu Fatawa. (Maktabah Syamilah).
Abdullah Saleh Hadrami.  Menyikapi Perbedaan Pendapat

Farid Ma’ruf. Bagaimana Menyikapi Perbedaan Mazhab

M Hasibullah Satrawi.  Menyikapi Perbedaan Keyakinan 
Ahmad Mudzoffar Jufri, MA.  Fiqhul Ikhtilaf (Memahami dan Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar