A. Pendahuluan
Dalam kamus fikih, Prof. Dr.
Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu
dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang
bersifat kasuistik.( Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I,
1996, hlm. 389). Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian
lahir mazhab fikih. Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga
digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik.
Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib
al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.(Dar
al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm.3). Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa
semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian
melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij;
bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti
Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.
Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah,
Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.
Meski demikian, tetap harus
dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti
umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab,
perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah
akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi
intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda.
Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa
menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum
lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota
bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multi-interpretasi (ta’wîl),
baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya,
nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis
Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak
ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl).
Namun, dalam menentukan tempat-tempat yang qath’i dan dzanni serta berapa
jumlahnya juga masih diperdebatkan. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah
nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek
sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga
yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah
qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi
bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa
disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab
itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan
tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya,
potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas
dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan.
Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak
menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i
tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung
diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok
secara simultan.
B. Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Sebab-sebab ikhtilaf dapat
disimpulkan dan diklasifikasikan ke dalam empat sebab utama:
1.
Perbedaan pendapat tentang
valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja
ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang
dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat
Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.
Perbedaan pendapat dalam
menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah
disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja
terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan
para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasi-kannya, juga dalam
melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain
yang terkait.
3.
Perbedaan pendapat tentang
beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i
(dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang
diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih
mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4.
Perbedaan pendapat yang
dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat,
masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal
ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah
karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan
sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal
di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau
tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah,
dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu.
Disamping sebab utama di atas,
masih ada lagi hal-hal yang meniscayakan adanya perbedaan dalam Islam, yaitu:
(1) Allah telah memberikan kapasitas intelektual manusia (thaqah
basyariyah) berbeda-beda sehingga dalam menangkap pesan dan makna syariat
juga berbeda-beda. (2) Latarbelakang politik, pendidikan, budaya, sosial. (3)
Berbagai kepentingan baik politik, ekonomi maupun dakwah. (4) penentuan skala
prioritas dalam menjalankan syariat Islam antara mendahulukan misi dakwah atau
penegakan hukum.
C. Contoh Ikhtilaf di Kalangan Sahabat
Nabi
Para sahabat pernah berbeda
pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani
Quraidhah. Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Ibunda Aisyah tentang Rasulullah ketika
Isra’ dan Mi’raj, apakah Beliau melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati
atau melihat cahaya. Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan
tentang shalat di Mina pada musim-musim haji, di-qashar atau disempurnakan.
Ibnu Mas’ud berbeda pendapat
dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu
Ad-Dukhan (asap atau kabut). Dan masih banyak lagi yang lainya. Semua perbedaan
itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan
menjatuhkan, bahkan mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.
Bahkan, malaikat-pun juga berbeda pendapat, yaitu ketika seorang yang telah
membunuh seratus orang, kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu
meninggal dunia dalam perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat
rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat berpendapat
bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab
berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang
dan belum berbuat kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang
memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga. Perbedaan pendapat
dan sikap diantara kedua malaikat tersebut tidak sampai menyebabkan mereka
berbecah belah, saling menghujat, bertikai dan saling menjatuhkan, justeru
mereka tetap saling menghormati dan menghargai. Kisah ini terdapat dalam
riwayat-riwayat sahih.
Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi
dalam sunannya menyebutkan: Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Aku tidak
suka kalau mereka (para Ulama’) tidak berikhtilaf (berbeda pendapat).” Kemudian
Beliau mengirimkan (perintah) ke seluruh negeri-negeri, agar setiap kaum
memutuskan (perkara) sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para Fuqaha’
(Ulama’) mereka. (Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, bab 52 Ikhtilaful
Fuqaha, atsar nomer 641, Maktabah Syamilah).
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ قِيلَ
لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ : لَوْ جَمَعْتَ النَّاسَ عَلَى شَىْءٍ. فَقَالَ
: مَا يَسُرُّنِى أَنَّهُمْ لَمْ يَخْتَلِفُوا. قَالَ : ثُمَّ كَتَبَ إِلَى
الآفَاقِ وَإِلَى الأَمْصَارِ : لِيَقْضِ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ
فُقَهَاؤُهُمْ.
‘Aun bin Abdillah berkata: “Aku
tidak suka seandainya para sahabat Nabi tidak berikhtilaf (berbeda pendapat).
Karena kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka
ia telah meninggalkan sunnah. Tapi kalau mereka berikhtilaf (berbeda pendapat),
dan orang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, ia tetap berpegang
kepada sunnah.” (Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha,
atsar nomer 642, Maktabah Syamilah).
عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ : مَا أُحِبُّ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
لَمْ يَخْتَلِفُوا ، فَإِنَّهُمْ لَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى شَىْءٍ فَتَرَكَهُ رَجُلٌ
تَرَكَ السُّنَّةَ ، وَلَوِ اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ أَحَدٍ أَخَذَ
بِالسُّنَّةِ.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawanya menyebutkan:
“Ada seorang yang menulis kitab tentang ikhtilaf, lalu Imam Ahmad mengatakan: “Jangan kamu beri nama “Kitab Ikhtilaf”, tapi berilah nama “Kitab Sunnah”.
Oleh karena inilah, sebagian Ulama’ mengatakan bahwa, ijma’ mereka (para ulama’ atau para sahabat) adalah hujjah yang pasti dan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas.
وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ
كِتَابًا سَمَّاهُ ” كِتَابُ الِاخْتِلَافِ ” فَقَالَ أَحْمَد : سَمِّهِ ” كِتَابَ
السِّعَةِ ” وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنْ
الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْله تَعَالَى { لَا تَسْأَلُوا عَنْ
أَشْيَاءَ إنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ } .
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
mengatakan: “Aku tidak suka kalau para sahabat Nabi tidak berikhtilaf (berbeda
pendapat). Karena apabila mereka bersepakat atas suatu pendapat, lalu ada orang
yang menyelisihinya, tentulah orang tersebut tersesat. Namun, apabila mereka
(para sahabat Nabi) berikhtilaf, lalu ada orang mengambil pendapat yang ini dan
orang lain mengambil pendapat yang itu, tentulah dalam hal ini terdapat
keluasan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimyyah 7/250, Maktabah Syamilah)
وَكَانَ
عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَقُولُ : مَا يَسُرُّنِي أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لِأَنَّهُمْ إذَا
اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا
فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ
سَعَةٌ .
D. Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
Perbedaan pandangan dan mazhab
kerapkali memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam, haruskah demikian?
Bagaimana seharusnya hal itu disikapi? Berikutmya cara menyikapi sebuah
perbedaan:
1.
Membekali diri dan mendasari
sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk
bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi
jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.
Memfokuskan dan lebih
memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat,
daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah
khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang
akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf
(ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.
Memahami ikhtilaf dengan
benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti
ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan
dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang
sejarah.
4.
Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf
para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam
ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun
(proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam
masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena
biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu,
dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf,
serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda
madzhab atau pendapat).
5.
Mengikuti pendapat (ittiba’)
ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih
(kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj)
ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para
ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu
syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas
kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja
pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan
kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang
dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan
hawa nafsu.
6.
Untuk praktek pribadi, dan
dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka
masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang
rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan
kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath)
dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj
minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat
dianjurkan).
7.
Sementara itu terhadap orang
lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat
diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah
& tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan
sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual,
adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita.
Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat
kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan
mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan
untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh
(yang lemah) sekalipun menurut kita.
8.
Menghindari sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki
sikap mutlak-mutlakan (truth claim) dalam masalah-masalah furu’
khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak
islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai
dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
9.
Tetap mengutamakan dan
mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas
masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain,
kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas
masalah-masalah khilafiyah.
10.
Menjadikan masalah-masalah
ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) –dan bukan
masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah)–
sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim.
11.
Menjaga agar ikhtilaf
(perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di
wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati,
sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq),
yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di
antara sesama kaum mukminin.
12.
Menyikapi orang lain,
kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain
dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin
diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang
lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan
yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau
madzhabmu!
F. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf dalam Menyikapi Ikhtilaf
Para sahabat Rasul dan para
pengikutnya serta imam mazhab adalah generasi terbaik dalam hal kedalaman dan
keluasan ilmunya, sekaligus generasi yang paling toleran dalam menghadapi
perbedaan. Di bawah ini beberapa contoh penyikapan mereka terhapat perbedaan:
1. Al-Imam
Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata: ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling
mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’
Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
عن يحيى بن سعيد قال : « ما برح المستفتون يستفتون فيحل
هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحلل هلك لتحليله ولا يرى المحلل أن المحرم هلك
لتحريمه
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi
rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah)
berkata : ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada
Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu
kami berpisah. Setelah itu beliau
menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ”Hai Abu Musa! Tidakkah
sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu
masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru
A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
قال يونس الصدفي: ما رأيت أعقل
من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا
موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة (6).
3. Ulama salaf (salah satunya adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku,
adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan
benar”.
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ
وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam
suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa
sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa :
24/173).
وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ
تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ
5. Al-Imam
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang
pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih
wal Mutafaqqih : 2/69).
قال : سمعت سفيان ، يقول : « ما
اختلف فيه الفقهاء ، فلا أنهى أحدا من إخواني أن يأخذ به »
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah
(atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan
kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus
diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun
Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap
wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut”
(Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
مالك بن أنس يقول : « لما حج أبو جعفر المنصور دعاني
فدخلت عليه فحدثته وسألني فأجبته ، فقال : إني قد عزمت أن آمر بكتبك هذه التي
وضعتها – يعني الموطأ – فينسخ نسخا ثم أبعث إلى كل مصر (1) من أمصار المسلمين منها
نسخة وآمرهم أن يعملوا بما فيها لا يتعدون إلى غيره ، ويدعون ما سوى ذلك من هذا
العلم المحدث ؛ فإني رأيت أصل العلم رواية أهل المدينة وعلمهم قال : فقلت : » يا
أمير المؤمنين ، لا تفعل فإن الناس قد سبقت إليهم أقاويل وسمعوا أحاديث ورووا
روايات وأخذ كل قوم بما سبق إليهم وعملوا به ودانوا به من اختلاف الناس أصحاب رسول
الله صلى الله عليه وسلم وغيرهم ، وإن ردهم عما اعتقدوه شديد ، فدع الناس وما هم
عليه وما اختار كل أهل بلد لأنفسهم ، فقال : لعمري لو طاوعتني على ذلك لأمرت به
وهذا غاية في الإنصاف لمن فهم «
6. Khalifah
Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat
tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah
(murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum
di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu
membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
وَصَلَّى
أَبُو يُوسُفَ خَلْفَ الرَّشِيدِ وَقَدْ احْتَجَمَ وَأَفْتَاهُ مَالِكٌ بِأَنَّهُ
لَا يَتَوَضَّأُ فَصَلَّى خَلْفَهُ أَبُو يُوسُفَ وَلَمْ يُعِدْ
7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan
wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang, ”Bagaimana jika seorang imam
tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh
shalat di belakangnya?” Imam Ahmad
pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang
Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?”
(karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan
tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
وَكَانَ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ يَرَى الْوُضُوءَ مِنْ
الْحِجَامَةِ وَالرُّعَافِ فَقِيلَ لَهُ : فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ خَرَجَ
مِنْهُ الدَّمُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ . تُصَلِّي خَلْفَهُ ؟ فَقَالَ : كَيْفَ لَا
أُصَلِّي خَلْفَ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَمَالِكٍ
8. Imam Abu
Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan
imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai
ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang
imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam
shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca
Al-Fatihah, baik pelan maupun keras. (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi :
109).
كان أبو حنيفة وأصحابه والشافعي وغيرهم رضي الله عنهم
يصلون خلف أئمة المدينة من المالكية وغيرهم وان كانوا لا يقرؤون البسملة لا سرا
ولا جهرا
9. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah
shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan
tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan
”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah
telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir
(lihat: Al-Inshaf : 110).
وصلى الشافعي رحمه الله الصبح قريبا من مقبرة أبي حنيفة
رحمه الله فلم يقنت تأدبا معه
10. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’
Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang
datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah)
bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau.
Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya
mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah
engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena
saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah
berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan
madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana
mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak
akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah)
bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi
justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka
statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah seperti
penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi
Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).
عن القاضي أبى يعلى (الفراء) أنه قصده فقيه ليقرأ عليه
مذهب أحمد فسأله عن بلده فأخبره فقال له إن أهل بلدك كلهم يقرأون مذهب الشافعى
فلماذا عدلت أنت عنه الى مذهبنا فقال له انما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت فقال ان
هذا لا يصلح فانك اذا كنت فى بلدك على مذهب أحمد وباقى أهل البلد على مذهب الشافعى
لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا بل كونك
على مذهب الشافعى حيث أهل بلدك على مذهبه أولى ودله على الشيخ أبى اسحاق وذهب به
اليه فقال سمعا وطاعة
DAFTAR RUJUKAN
Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie. Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I, 1996
Prof. Dr. Abu
Zahrah. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa
Târîkh al-Fiqh al-Islâmi. Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t
Adz-Dzahabi.
Tadzkiratul Huffadz. (Maktabah Syamilah).
Adz-Dzahabi. Siyaru
A’lam An-Nubala. (Maktabah Syamilah).
Abdullah bin
Abdurrahman Ad-Darimi. Sunan Ad-Darimi {wafat 255H / 869M}, (Maktabah
Syamilah).
Aali Ibn Taimiyah. Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi. (Maktabah Syamilah).
Ad-Dahlawi. Al-Inshaf . (Maktabah Syamilah).
Al-Khathib Al-Baghdadi. Al-Faqih
wal Mutafaqqih. (Maktabah
Syamilah).
Ibn Abdil Barr.
Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih. (Maktabah Syamilah).
Taqiyuddin Ibn Taimiyyah.
Majmu Fatawa. (Maktabah
Syamilah).
Abdullah Saleh
Hadrami. Menyikapi Perbedaan Pendapat
Farid Ma’ruf. Bagaimana Menyikapi Perbedaan Mazhab
M Hasibullah Satrawi. Menyikapi Perbedaan
Keyakinan
Ahmad Mudzoffar Jufri, MA. Fiqhul Ikhtilaf (Memahami dan
Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar