A. Pendahuluan
Dalam kamus fikih, Prof. Dr.
Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu
dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang
bersifat kasuistik.( Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I, 1996,
hlm. 389). Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir
mazhab fikih. Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga
digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik.
Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib
al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.(Dar
al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm.3). Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa
semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian
melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij;
bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti
Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan
Wahabiyah. Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah,
Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.
Meski demikian, tetap harus
dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti
umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab,
perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah
akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi
intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda.
Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa
menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum
lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota
bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multi-interpretasi (ta’wîl),
baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya,
nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis
Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak
ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl).
Namun, dalam menentukan tempat-tempat yang qath’i dan dzanni serta berapa
jumlahnya juga masih diperdebatkan. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah
nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek
sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga
yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah
qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi
bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa
disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab
itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan
tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya,
potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas
dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan.
Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak
menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i
tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung
diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok
secara simultan.
B. Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Sebab-sebab ikhtilaf dapat
disimpulkan dan diklasifikasikan ke dalam empat sebab utama:
1.
Perbedaan pendapat tentang
valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja
ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang
dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat
Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.
Perbedaan pendapat dalam
menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
3.
Perbedaan pendapat tentang
beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i
(dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang
diperselisihkan di antara para ulama,
4.
Perbedaan pendapat yang
dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat,
masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal
ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah
karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat).
Disamping sebab utama di atas,
masih ada lagi hal-hal yang meniscayakan adanya perbedaan dalam Islam, yaitu:
(1) Allah telah memberikan kapasitas intelektual manusia (thaqah
basyariyah) berbeda-beda sehingga dalam menangkap pesan dan makna syariat
juga berbeda-beda. (2) Latarbelakang politik, pendidikan, budaya, sosial. (3)
Berbagai kepentingan baik politik, ekonomi maupun dakwah. (4) penentuan skala
prioritas dalam menjalankan syariat Islam antara mendahulukan misi dakwah atau
penegakan hukum.
C. Cara Menyikapi Ikhtilaf
Perbedaan pandangan dan mazhab
kerapkali memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam, Berikutmya cara
menyikapi sebuah perbedaan:
1.
Membekali diri dan mendasari
sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2.
Memfokuskan dan lebih
memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat,
daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah
khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang
akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem)
dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.
Memahami ikhtilaf
dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi
ummat.
4.
Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf
para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam
ber-ikhtilaf.
5.
Mengikuti pendapat (ittiba’)
ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih
(kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj)
ilmiah yang diakui.
6.
Untuk praktek pribadi, dan
dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka
masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang
rajih (yang kuat) menurut pilihannya.
7.
Sementara itu terhadap orang
lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat
diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah
& tasamuh).
8.
Menghindari sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem)
9.
Tetap mengutamakan dan
mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas
masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.
10.
Menjadikan masalah-masalah
ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) –dan bukan
masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah)–
sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim.
11.
Menjaga agar ikhtilaf
(perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di
wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati,
sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq),
yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di
antara sesama kaum mukminin.
D. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf dalam Menyikapi Ikhtilaf
Para sahabat Rasul dan para
pengikutnya serta imam mazhab adalah generasi terbaik dalam hal kedalaman dan
keluasan ilmunya, sekaligus generasi yang paling toleran dalam menghadapi
perbedaan. Di bawah ini beberapa contoh penyikapan mereka terhapat perbedaan:
1. Al-Imam
Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata: ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling
mencela satu sama lain”.
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi
rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah)
berkata : ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada
Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu
kami berpisah. Setelah itu beliau
menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ”Hai Abu Musa! Tidakkah
sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu
masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)
3. Ulama salaf (salah satunya adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku,
adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan
benar”.
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam
suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa
sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” ٌ
5. Al-Imam
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang
pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah
(atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan
kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus
diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun
Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap
wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut”
6. Khalifah
Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat
tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah
(murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum
di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu
membatalkan wudhu
7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan
wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang, ”Bagaimana jika seorang imam
tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh
shalat di belakangnya?” Imam Ahmad
pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang
Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?”
(karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan
tidak perlu berwudhu lagi)
8. Imam Abu
Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan
imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai
ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang
imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam
shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca
Al-Fatihah, baik pelan maupun keras.
9. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah
shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan
tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan
”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah
telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir
(lihat: Al-Inshaf : 110).
10. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la
Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama
fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih
berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam
Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun
memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya
penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu
karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah
berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan
madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana
mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak
akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah)
bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi
justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka
statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah seperti
penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jalanpanjang.web.id/2008/03/fiqh.html
Referensi lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar