Jumat, 10 Mei 2013

tuuugas


A. Pendahuluan
Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.( Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Beirut, cet. I, 1996, hlm. 389).  Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.  Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.(Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm.3). Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij; bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah. Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.
Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multi-interpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, dalam menentukan tempat-tempat yang qath’i dan dzanni serta berapa jumlahnya juga masih diperdebatkan. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.




B. Sebab – Sebab Terjadinya  Ikhtilaf
Sebab-sebab ikhtilaf dapat disimpulkan dan diklasifikasikan ke dalam empat sebab utama:
1.      Perbedaan pendapat tentang valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.      Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
3.      Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama,
4.      Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat).

Disamping sebab utama di atas, masih ada lagi hal-hal yang meniscayakan adanya perbedaan dalam Islam, yaitu: (1) Allah telah memberikan kapasitas intelektual manusia (thaqah basyariyah) berbeda-beda sehingga dalam menangkap pesan dan makna syariat juga berbeda-beda. (2) Latarbelakang politik, pendidikan, budaya, sosial. (3) Berbagai kepentingan baik politik, ekonomi maupun dakwah. (4) penentuan skala prioritas dalam menjalankan syariat Islam antara mendahulukan misi dakwah atau penegakan hukum.




C. Cara Menyikapi Ikhtilaf
Perbedaan pandangan dan mazhab kerapkali memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam, Berikutmya cara menyikapi sebuah perbedaan:
1.            Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2.            Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.            Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
4.            Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf.
5.            Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui.
6.            Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya.
7.            Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh).
8.            Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem)
9.            Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.
 10.        Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) –dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah)– sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim.
11.        Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.



D. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf dalam Menyikapi Ikhtilaf
Para sahabat Rasul dan para pengikutnya serta imam mazhab adalah generasi terbaik dalam hal kedalaman dan keluasan ilmunya, sekaligus generasi yang paling toleran dalam menghadapi perbedaan. Di bawah ini beberapa contoh penyikapan mereka terhapat perbedaan:
1. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata: ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”.  
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ”Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah)

3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” ٌ
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut”

6. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu
 
7. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang, ”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi)

8. Imam Abu Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras.

9. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
10. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik


































DAFTAR PUSTAKA


http://www.jalanpanjang.web.id/2008/03/fiqh.html

Referensi lain:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar