Kamis, 27 Desember 2012

FOTOKU

my photret

PUISIKU

Aku pandang sudut di sebelah sana... tanpa ku duga kulihat indah wajahmu berlukiskan manis senyummu... begitu indah..... begitu menawan.... ada suatu perasaan lembut yang buat aku tenang bila kumelihatnya dan... buat aku semakin membiru bila kumembayangkannya By : Fazri

PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah (Nana Sukmadinata: 1997. Hlm: 150). Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidikan, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud member pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Sedangkan Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, yang mana didalamnya mencakup beberapa hal diantaranya adalah: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: di dalam mengembangkan sebuah kurikulum juga harus menganut beberapa prinsip dan melakukan pendekatan terlebih dahulu, sehingga di dalam penerapannya sebuah kurikulum dapat mencapai sebuah tujuan seperti yang di harapkan. Dan mengenai prinsip-prinsip dasar pengembangan kurikulum akan kami jelaskan selengkapnya dalam pembahasan. B. Rumusan Masalah 1. Prinsip-prinsip apakah yang dipakai dalam pengembangn kurikulum? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? 3. Artikulasi dan hambatan yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? 4. Model-model apa saja yang digunakan dalam pengembangan kurikulum? BAB II PEMBAHASAN A. Prinsip-Prinsip Pengembangn Kurikulum Dalam usaha untuk mengembangkan kurikulum ada beberapa prinsip dasar yang harus kita perhatikan, agar kurikulum yang kita jalankan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan. Prinsip-prinsip dasar yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Menurut Nana Sukmadinata (1997:150) ada dua prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. 1. Prinsip Umum Ada beberapa prisip umum dalam pengembangan kurikulun, diantaranya: a. Prinsip relevansi Ada dua relevansi yang herus dimiliki kurikulum, yaitu: a) Relevansi keluar, maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan (sesuai) dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. b) Relevansi di dalam, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. b. Prinsip fleksibilitas Kurikulum hendaknya memilih sifat lentur/feksibel c. Prinsip kontinuitas Prinsip kontinuitas yakni adanya kesinambungan antara berbagai tingkat sekolah,dan antara berbagai tingkat bidang studi dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. d. Prinsip efisien prinsip efisien berhubungan dengan perbandingan antar tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh kurikulum dikatakan memiliki tingkat efesien yang tinggi apabila dengan sarana,biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal. e. Prinsip efektivitas Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar 2. Prinsip Khusus Ada beberapa prisip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum. Prinsip-prisip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar dan penilaian. a. Perinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. b. Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan Para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal yang sesuai dengan ke butuhan pendidikan dalam memilih isi pendidikan yaitu: 1) Perlu penjabaran tujuan pendidikan 2) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan 3) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis c. Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar Dalam menentukan proses belajar mengajar hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: kecocokan metode mengajar, variasi mengajar, urutan kegiatan, pencapaian tujuan, keaktifan, perkembangan, jalinan kegiatan belajar disekolah dan dirumah d. Prinsi berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran Beberapa prinsip yang dijadikan pegangan untuk menggunakan media atau alat bantu pembelajaran, yaitu: 1) media atau alat yang diperlukan 2) pengorganosasian alat 3) pengintegrasian dalam kegiatan belajar e. Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan prinsip-prinsip evaluasi yaitu : objektifitas, komprehensif, kooferatif, mendidik, akuntabilitas, dan praktis. B. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum Menurut Nana Sukmadinata (1997:158) ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum: 1. Perguruan tinggi Perguruan tinggi setidaknya memberikan dua pengaruh terhadap kurikulum Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru diperguruan keguruan (lembaga pendidikan tenaga kependidikan). Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. 2. Masyarakat Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang diantaranya bertugas mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup secara bermatabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka. Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen. Sekolah berkewajiban menyerap dan melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di masyarkat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal ini karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai sekolah, tetapi juga untuk dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada di masyarakat berimplikasi pada kurikulum yang dikembangkan dan digunakan sekolah. 3. Sistem nilai Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertangung jawab dalam pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Persoalannya bagi pengembang kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen, terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spritual keagamaan, yang masing-masing kelompok itu memiliki nilai khas dan tidak sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politk, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengakomodasi pebagai nilai yang tumbuh di masyarakat dalam kurikulum sekolah, diantaranya : a. Mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat b. Berpegang pada prinsip demokratis, etis, dan moral c. Berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru d. Menghargai nlai-nilai kelompok lain e. Memahami dan menerima keragaman budaya yang ada C. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum Artikulasi dalam pendidikan berarti “kesatupaduan dan koordinasi segala pengalaman belajar”. Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan, menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan baik akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai perguruan tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya. Dalam mengusahakan artikulasi kurikulum tersebut murid pun perlu dimintakan pendapatnya tentang hubungan pelajaran yang satu dengan yang lainnya, hubungan antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya. Salah satu hal yang sering dipandang menghambat artikulasi adala pembagian menurut tingakat belajarnya. Hambatan-hambatan Pengembangan Kurikulum Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan, yaitu 1. Guru Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal yaitu 1) Kurang waktu 2) Kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. 3) Karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri. 2. Masyarakat Untuk pengembangan kurikulum butuh dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. 3. Biaya Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi, atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. D. Model-Model Pengembangan Kurikulum Dalam buku karangan Nana Sukmadinata (Pengembangan Kurikulum Teoritis Dan Praktis, 1997:161) ada delapan model pengembangan kurikulum, yaitu: 1. The administrative model Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan membentuk suatu komisi/tim pengarah pengembangan kurikulum, tim kerja pengembangan kurikulum dan tim pengembang kurikulum. Tugas tim/komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah tim komisi selesai dalam menjalankan tugasnya, hasilnya akan dijadikan kurikulum yang sesungguhnya, yang lebih oprasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Tugas ini dilaksanakan oleh tim oleh tim kerja pengembangan kurikulum. Setelah tugas dari tim kerja pengembangan kurikulum selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekilah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tesebut. 2. The grass roots model Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan atau kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat gross roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum. Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan morl grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif. 3. Beuchamp’s system Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal didalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu: 1. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi atau seluruh negara. 2. Menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, diantaranya: a. Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar. b. Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih. c. Para profesional dalam sistem pendidikan. d. Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat. 3. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Dan dalam menetukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu: a. Membentuk tim pengembang kurikulum. b. Mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan. c. Studi penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru. d. Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru. e. Penyusunan dan penulisan kurikulum baru. 4. Implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan menejerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat. 5. Evaluasi kurikulum. Langkah ini mencakup empat hal, yaitu: a. Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru. b. Evaluasi desain kurikulum. c. Evaluasi hasil belajar siswa. d. Evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. 4. The demonstration model Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Menurut Smite, Stanlay, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi ini, yaitu: 1. Sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. 2. Kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri. Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model demonstrasi ini, yaitu: 1. Karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata, maka akan dilaksanakan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis. 2. Perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh administrator, dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan yang menyeluruh. 3. Pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumentasinya bagus tetapi pelaksanaannya tidak ada. 4. Modeel ini sifatnya yang grass roots menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan menerimanya dengan enggan-enggan, dalam keadaan teburuk mungkin akan terjadi apatisme. 5. Taba’s inverted model Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan secara deduktif, dengan urutan: 1. Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar. 2. Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komukmen-komikmen tertentu. 3. Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh. 4. Melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum byang lebih mendorong inovasi dan kretivititas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari arah model tradisional. Ada lima langkah dalam pengembangan kurikulum model Taba ini, yaitu: 1. Mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dan praktek. Ada delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini, yaitu: a. Mendiagnosis kebutuhan. b. Merumuskan tujuan-tujuan khusus. c. Memilih isi. d. Mengorganisasi isi. e. Memilih pengalaman belajar. f. Mengeorganisasi pengalaman belajar. g. Mengevaluasi. h. Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379). 2. Menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan. 3. Mengadakan revisi dan kosolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. 4. Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. 5. Implementasi dan desiminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. 6. Roger interpersonal relations model Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Ada empat langkah pengembangan kurikulum model rogers, yaitu: 1. Pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. 2. Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok. 3. Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitaor dari luar. 4. Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordianasi oleh BP3 msing-masing sekolah. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, anak, dan dengan guru. 7. The systematic action-research model Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan mayarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research. Langkah-langkahnya yaitu: 1. Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-fakor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. 2. Implementasi dari keputusan yang diambil. Tindakan ini segera didikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1) Menyiapkan data bagi eavaluasi tindakan. 2) Sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi. 3) Sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi. 4) Sebagai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut. 8. Emerging technical model Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya: 1. The Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku yang sederhanayang tersusun secara hierarkis. 2. The System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah-langkahnya: a. Menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. b. Menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. c. Mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. d. Membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan. 3. The Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam mengembangkan kurikulum harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagi berikut : a. Prinsip relevansi b. Prinsip fleksibilitas c. Prinsip Kontonuitas d. Prinsip Efektifitas e. Prinsip evisiensi 2. Ada tiga factor yang mempengaruhi pengembanga kurikulum, yaitu : a. Perguruab tinggi b. Masyarakat c. Sistim nilai 3. Artikulasi dan hambatan pengembangan kurikulum Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan, menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum memiliki beberapa hambatan, diantaranya: a. Dari factor guru b. Dari factor masyarakat c. Dari factor biaya 4. Terdapat beberapa model dalam pengembangan kurikulum, diantaranya: a. The administrative modle’s b. The grass roots model c. Beuchamp’s system d. The demonstration model e. Taba’s inverted model f. Roger interpersonal relations model g. Emerging technical model h. The systematic action-research model DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Syaodih, Nana. Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum Toeori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

JIWA

JIWA DALAM ISLAM (Al-qur’an dan al-sunnah) A. Pengertian Jiwa Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk) Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari, padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) . Dalam al-mu’jam al-falsafy, kata al-nafs diartikan dengan merujuk kepada tiga versi pendapat; Aristoteles, dengan permulaan kehidupan (vegetative), Kelompok Spiritual (al-ruh) mengartikannya sebagai jauhar (substansi) ruh, dan yang lainnya mengartikan sebagai jauhar (substansi) berfikir . Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir. Jauhar tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basit (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya. Tidak boleh sifat banyak atau sedikit yang menguasainya, meskipun berada di setiap hewan di alam ini, ia tetap dalam makna yang satu . Apa yang dikemukakan Aristoteles merupakan pemahaman umum para filosof Yunani di zamannya. Salah satunya golongan filosof Yunani, Masya’in, mereka mengatakan bahwa jiwa itu bukan fisik dan bukan kefanaan, tidak berada di suatu tempat, tidak memiliki ukuran panjang, lebar, kedalaman, warna, bagian, tidak pula berada di alam ini atau di luarnya, tidak bisa diserupakan dan dibedakan Para filosof Yunani termasuk Aristoteles tampaknya memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materiil, sebagai sesuatu yang membutuhkan ruang dan tempat. Ia bersifat gradual dan tercecer ke mana-mana yang tidak punya ukuran sama sekali. Tetapi ia ada pada setiap makhluk yang punya roh, dan memiliki fungsi dalam gerak makhluk. Sesuatu yang tidak memiliki fisik tetapi punya fungsi maka bagi penulis ini adalah sesuatu yang majhul. Karena semua makhluk pasti memiliki fisik dan menempati ruang dan waktu, walaupun berbeda-beda ketampakannya. Menurut al-Qusyairi, roh, jiwa, dan badan adalah satu komponen (jumlah) yang membentuk manusia, yang sebagiannya tunduk kepada sebagian yang lain. Di kalangan ulama ahlu sunnah, terkadang mereka sepakat tentang jiwa dan ruh dalam satu aspek, tetapi ia berbeda pada aspek yang lain. al-Qusyaery mencontohkan, Ibnu Abbas dan Ibnu Habib keduanya sepakat bahwa ruh adalah kehidupan atau sumber kehidupan. Keduanya juga sepakat bahwa jiwalah yang diwafatkan saat manusia sedang tidur. Tetapi menurut Ibnu Habib jiwa adalah syahwatiah (kesyahwatan) yang merasakan kelezatan dan merasakan sakit, Sedangkan Ibnu Abbas menganggapnya sebagai akal yang mengetahui, membedakan dan memerintah. Pendapat keduanya tentang jiwa yang diwafatkan saat manusia tidur ditentang oleh sebagai muh}aqqiq ahlu sunnah yang berpendapat bahwa rohlah yang berpisah dan terangkat saat manusia sedang tidur dan bukan jiwa. B. Jiwa dan Ruh Dalam Al-Quran Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan d{amir seperti نفسي, أنفسكم . Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz| al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam. Jika ditelusuri dalam kamus al-Qur’an, kata al-nafs setidaknya mempunyai 10 arti ; 1. Al-Qalb (Hati) seperti dalam Q.S. Qaf : 16 • وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16)... 2. Minkum (dari kalian) seperti dalam Q.S. Al-Taubah : 128 • لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم... 3. Al-insa>n (manusia), seperti dalam Q.S. al-Maidah : 32 • مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا... 4. Ba’d{ukum (sebagian di antara kalian), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2:54 • فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ... 5. Al-ruh (roh), seperti dalam Q.S. al-Zumar : 42 • اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا... 6. Ahli al-di>n (ahli agama), seperti dalam Q.S. Al-Nisa :29 • وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)... 7. Diri manusia, seperti dalam Q.S. al-Nisa : 66 • وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ... 8. ‘uqubat (balasan/hukuman), seperti dalam Q.S. Ali Imran/3 :28 • وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)... 9. Al-umm (ibu), seperti dalam Q.S. Al-Nur : 12 • لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)... 10. Al-gaib (gaib), seperti dalam Q.S. al-Maidah/4: 116 • تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116)... Memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang al-nafs jumlahnya jauh lebih banyak dari pada Al-ruh. Dalam beberapa ayat, ketika Tuhan menyebut kata al-nafs, yang dimaksudkan di dalamnya adalah Al-ruh. Sebab itu menurut kesimpulan penulis, hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari Al-ruh. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari Al-ruh. Hal tersebut di dasari dengan beberapa alasan; 1. Kata Al-ruh (roh) di dalam al-Quran selalu disebutkan dengan bentuk mufrad (tunggal), Al-ruh, tidak ada yang berbentuk jamak (plural) al-arwah. Berbeda dengan kata al-nafs disebutkan dalam bentuk tunggal maupun plural. 2. Tidak ada kata Al-ruh di dalam al-Quran yang mengandung arti roh itu sendiri, ataupun jiwa. Ketika Allah menyebut Al-ruh, yang dimaksudkan justru malaikat Jibril, kekuatan dari-Nya, atau Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa kata Al-ruh digunakan pada sesuatu yang lebih utama dari sekedar dipahami secara sederhana sebagai hembusan nafas, atau substansi yang mewujudkan proses hidup tubuh manusia. Dapat dipahami bahwa Al-ruh (dalam makna ruh Tuhan, al-Quran atau malaikat Jibril) adalah hakekat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang sempurna. Asal segala kehidupan, yang memancarkan sinaran petunjuk kepada jiwa yang berkelana dalam kehidupan fisik manusia. 3. Semua kata Al-ruh merupakan ungkapan transeden Tuhan, bahkan beberapa ayat, ketika Allah swt menyebut kata Al-ruh, Ia mengaitkannya dengan diri-Nya (ruhi), ini menunjukkan bahwa ruh memiliki unsur ketuhanan di dalamnya. Berbeda dengan kata al-nafs, Allah swt menyebutkannya dengan sangat plural, hingga mengklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, kehidupan baik maupun kehidupan buruk. Sebab itu jiwa memiliki unsur ketuhanan sekaligus memiliki unsur syaitaniyah. Dua ranah kehidupan dalam diri manusia yang selalu bertarung sepanjang hidupnya. Siapa pemenang, dialah yang akan menentukan pilihan dan mengendalikan tindakan. Beberapa ayat menyebutkan kata al-nafs dengan arti roh, yang berkaitan langsung dengan jasad manusia sebagai komponen fisik manusia. pada aspek ini kata al-ruh dengan al-nafs memiliki kedekatan makna, al-nafs berarti bernafas dan al-ruh yang jika di jamakkan al-arwah adalah penentu hidup atau matinya manusia. Dalam bahasa keseharian jika ia tidak bernafas lagi maka rohnya sudah tiada. C. Istilah jiwa dalam hadits Rasulullah SAW Selain dalam Al-Qur’an, beberapa hadist Rasulullah saw. juga menyinggung persoalan jiwa. Sama halnya dengan Al-Qur’an kata nafs (jiwa) juga digunakan dalam makna yang beragam. Dalam hadist Rasulullah saw., penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya; Nafs dalam arti perasaan dan perilaku Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), maupun ihsaas (sensasion) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku. Seperti beberapa hadist berikut; Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw., keluar dari kediaman saya dengan perasaan gembira (thibb an-nafs). Akan tetapi ketika kembali beliau terlihat sedih sehingga saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab, “Sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam Ka’bah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau saya tadi tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan memberatkan umat saya yang dating kemudian.” (HR. Muslim). Dalam hadist lain, Rasulullah saw. mengisyaratkan bahwa ketenangan dan ketenteraman hati seorang mukmin sangat terkait dengan keridhaan Allah swt. dan pencapaian pahala dari-Nya. Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Suatu pagi, Rasulullah saw. Terlihat gembira (thibb an-nafs). Bisa-bisa kegembiraan tersebut terpancar jelas dari wajah beliau sehingga para sahabat berkomentar, “Wahai Rasulullah saw., engkau terlihat gembira sekali hari ini. Wajah engkau tampak berseri-seri. Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Benar, tadi malaikat datang kepadaku dari Tuhanku azza Wajalla dan seraya berkata, “siapa saja di antara umatmu yang bershalawat satu kali kepada mu maka Allah swt. Akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahannya, mengangkat derajatnya sepuluh tingkat, serta menjauhkannya dari kebalikannya (kehinaan) sebanyak itu pula.”” (HR. Ahmad). Lebih lanjut, Rasulullah saw. juga menerangkan bahwa fitrah (karakter dasar) manusia adalah baik (cenderung kepada kebaikan) dan sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai tolak ukur (hakim) terhadap apa-apa yang akan dilakukan atau diusahakannya. Artinya, jika nurani merasa tenang dan mantap terhadap sesuatu maka sesuatu itu halal dan baik. Sebaliknya, jika nurani menentang maka hal itu menandakan sesuatu itu dosa dan penyimpangan dari kebenaran. Walaupun demikian, walaupun demikian, hal tersebut mempunyai persyaratan bahwa nurani yang dimaksud adalah yang senantiasa berserah diri kepada Allah. Diriwayatkan bahwa Muslim bin Musykam berkata bahwa dia mendengar al-Khusyani berkata, “saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘beri tahukanlah kepada saya bagaimana caranya mengetahui bahwa sessuatu itu di halalkan atau diharamkan bagi saya.’ Rasulullah saw. Kemudian berdiri. Setelah meluruskan pandangannya beliau bersabda, “Sesuatu yang baik itu adalah yang membuat perasaan (nafs) tenteram dan hati tenang. Sebaliknya, dosa itu adalah yang membuat perasaan tidak tenang dan hati gelisah sekalipun orang banyak memberikan fatwa.” (HR. Ahmad). 2. Nafs dalam arti zat atau esensi manusia Disamping makna di atas, kata nafs juga dipakai dalam arti zat/esensi manusia itu sendiri yang dengan keberadaannya setiap tindakan manusia menjadi bernilai. Seperti dalam hadist Rasulullah saw.; Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin Amru bin ‘Ash, “Engkau orang yang senatiasa puasa sepanjang hari dan melakukan shalat sepanjang malam?” Abdullah menjawab, “Benar.” Rasulullah saw. kemudian berkata, “Jika kamu teruskan kebiasaan seperti itu maka matamu akan sakit dan jiwamu akan menjadi letih. Tidak dibolehkan melakukan puasa dahr (setiap hari). Berpuasa tiga hari (disetiap pertengahan bulan) adalah laksana berpuasa sepanjang tahun.”Abdullah lalu berkata, “Akan tetapi, saya measa sanggup melakukan yang lebih dari itu.” Rasulullah saw. selanjutnya menjawab, “Jika demikian maka berpuasalah seperti puasanya Dawud a.s., yaitu berpuasa sehari kemudian berbuka sehari…” (HR Bukhari). Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda, “Mimpi itu muncul dari tiga sumber: ucapan batin (nafs) manusia, gangguan setan, serta berita gembira dari Allah swt.. oleh karena itu, siapa yang bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya maka janganlah menceritakannya kepada orang lain, tetapi hendaklah ia segera bangun dan melakukan shalat.” (HR. Bukhari). 3. Nafs dalam arti ruh manusia Lafaz nafs kebanyakan dipergunakan dalam makna ruh. Dalam hal ini bisa dilihat dari beberapa hadist berikut; Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan dosa besar. Beliau lalu menjawab,“Mempersekutukan Allah swt. Durhaka terhadap kedua orang tua, membunuh jiwa dan melakukan sumpah palsu.” (HR Bukhari). Abu Hurairah r.a juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “hindarilah tuuh perkara yang menghancurkan!”. Para sahabat lalu bertanya, “apa saja ke tujuh perkara itu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, Mempersekutukan Allah swt., (melakukan) sihir, membunuh jiwa yang diharankam Allah swt. Kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh perempuan mukmin yang baik dan shaleh (melakukan perbuatan perzinaan.”(HR Bukhari). Beberapa hadist di atas hanya sebagai contoh lafaz nafs yang menjadi referensi utama dalam kajian jiwa. Tentu masih banyak hadist-hadist yang lainnya yang menjelaskan secara lebih detail hingga sifat-sifat, karakter dan tabiat jiwa.

TOKOH ISLAM INDONESIA "MUKTI ALI"

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modernisme, modernisasi dan modernitas merupakan padanan kata dari pembaharuan. Modernisasi itu mengandung pengetian pikiran, ide, aliran, gerakan dan usahan untuk mengubah paham-paham, ada istiadat, dan sebagainnya agar semua itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan pola pikir serta tindakan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan modernisasi adalah suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. Dalam bahasa Arab, modernisasi atau pembaharuan sering diartikan dengan tajdi>d (yang memperbaharui), sedangkan pelakunya disebut mujaddi>d (orang yang melakukan pembaharuan). Dan didalam Islam Indonesiapun ada tokoh modernisasinya diantaranya adalah Mukti Ali yang akan di bahas dalam makalah ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi dari Mukti Ali? 2. Apasajakah pendidikan dan karir yang pernah dijalani oleh Mukti Ali? 3. Apa saja pemikiran yang dicetus oleh Mukti Ali? BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Mukti Ali Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar. Salah satu kawasan “elit” yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Itu berarti Boedjono memang berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Ayah Boedjono, yaitu H. Abu Ali adalah seorang pedagang yang terpandang di wilayah tersebut, bukan hanya karena kesuksesan usaha dagangnya, namun juga karena sikap hidupnya yang berbeda dengan kebanyakan orang di desa tersebut. H. Abu Ali selain dikenal ulet, rajin dan disiplin, juga dikenal sebagai orang yang bersahaja, bersikap sederhana, dan tidak suka berfoya-foya seperti kebanyakan orang di desanya. H. Abu Ali juga selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjadi manusia yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Sikap ayahnya inilah yang di kemudian hari menjadi inspirasi utama bagi Boedjono dalam membawa diri. Terbukti bahwa kegigihan dan keluhuran budi sang ayah telah mengantarkan Boedjono ke gerbang kesuksesan, tak terkecuali juga saudaranya yang lain seperti Soepeni (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Zainab), Iskan (berganti nama Iskandar), Ishadi (Dimyati), Umi Hafifah, Zainuri, dan Sri Monah. Boedjono kecil sudah akrab dengan pendidikan agama. Ia banyak mengaji pada paman, kakek, dan sanak saudara yang juga dikenal sebagai tokoh agama atau kyai di daerahnya. Kegiatan mengaji ini ia lakukan pada sore hari karena pada pagi hari ia harus mengikuti pelajaran di HIS, sekolah Belanda untuk penduduk pribumi. Sejak kecil, Boedjono sudah dikenal sebagai anak yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka kemudian H. Abu Ali memasukkan Boedjono di pesantren yang diasuh oleh Kyai Usman Cepu, anak dari Kyai Hasyim Jalakan atau guru dari Kyai Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Setelah Boedjono lulus dari HIS, H. Abu Ali memindahkan Boedjono ke Pondok Pesantren yang dianggap lebih maju karena telah menerapkan sistem madrasi sejak tahun 1932, yaitu PP. Termas di Pacitan, kira-kira 170 km di selatan Cepu. Di Pesantren yang juga tempat nyantri K.H. Ali Ma’shum (pengasuh PP. Krapyak dan Rois Aam PB NU) inilah Boedjono mulai bersentuhan dengan karya-karya yang menggugah nalarnya. Dia banyak membaca buku-buku yang diimpor dari Mesir, dia juga berkenalan dengan ilmu mantiq (logika), serta membaca beberapa buku tentang tasawuf dan filsafat. Boedjono juga sempat menimba ilmu dari dua orang kyai yang ia sebut sebagai Hamidain atau dua orang Hamid. Hamid yang pertama adalah Kyai Hamid Pasuruan dan yang satunya adalah Kyai Hamid Dimyati. Satu hal penting dari bertemunya Boedjono dengan Kyai Hamid Pasuruan adalah diubahnya nama Boedjono menjadi Abdul Mukti. Nama kecil Kyai Hamid Pasuruan adalah Abdul Mukti, sang kyai menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan nama kecil sang kyai. Boedjono menerimanya dengan rasa bangga sekaligus merasa tertantang untuk menjaga kehormatan nama kecil gurunya tersebut. Sejak itu Boedjono berganti nama menjadi Abdul Mukti. Namun Abdul Mukti merasakan ada yang kurang dengan namanya. Abdul Mukti tidak hanya ingin menghormati gurunya namun juga ingin sekali menghormati ayahnya. Maka nama Ali yang merupakan nama belakang ayahnya (H. Abu Ali) ia tambahkan pula. Sehingga Boedjono telah berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali. B. Tangga Pendidikan Dan Karier Mukti Ali Setelah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren, Mukti Ali melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri di Yogyakarta. Mukti Ali masuk di Fakultas Agama pada sekolah tinggi yang kini telah berganti nama Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut. Kesempatan pendidikan ke jenjang berikutnya ia peroleh setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1950. Seusai melaksanakan ibadah haji, Mukti Ali berencana menetap sejenak di Mekah untuk menuntut ilmu. Namun ia bertemu dengan H. Imron Rosyadi (Kuasa Usaha untuk RI di Jeddah) yang menganjurkan agar Mukti Ali melanjutkan studinya di Jurusan Sejarah Islam, Universitas Karachi, Pakistan. Mukti Ali meraih gelar doktor pada tahun 1955. Sebelum sempat mengabdikan ilmunya ke tanah kelahiran, Mukti Ali sudah terlebih dahulu diminta untuk terbang lebih jauh lagi dari tanah air. Anwar Haryono, pimpinan DDII pasca M. Natsir, sekaligus tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang juga aktif di Masyumi, memberikan kabar kepada Mukti Ali bahwa ia menerima beasiswa studi ke Kanada. Di universitas yang dikenal dengan nama McGill ini, Mukti Ali diterima di Institut of Islamic Studies, bidang baru yang mulai dibuka pada tahun 1952 atas kerja keras Wilfred Cantwell Smith. W.C. Smith juga merupakan dosen favorit Mukti Ali yang memberikan banyak “pencerahan”, terutama berkaitan dengan metodologi yang nantinya sangat berpengaruh dalam ide-ide pembaruan Mukti Ali di Tanah Air. Setelah dua tahun Mukti Ali menimba ilmu di Kanada, kini ia bisa pulang ke tanah air dengan menggondol gelar M.A. (Master of Arts). Setelah menikah dengan Siti Asmadah (puteri H. Masduki) pada tahun 1959, Mukti Ali siap mengabdikan ilmunya di tanah air. Mukti Ali mengajar di IAIN Yogyakarta dan Jakarta yang juga baru saja berdiri tahun 1960. IAIN Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah) waktu itu hanya memiliki dua fakultas yaitu Tarbiyah dan Adab, sementara IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) mengelola fakultas Syari’ah dan Ushuluddin. Di Fakultas Ushuluddin inilah Mukti Ali mendirikan disiplin ilmu baru di Indonesia yaitu Ilmu Perbandingan Agama. Maka Jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Yogyakarta yang memulai kuliahnya pada tahun 1961 tersebut, merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dewasa ini. Disela-sela kesibukannya mengajar, Mukti Ali masih menyempatkan diri untuk berkarya besar bagi anak negeri, yaitu bergabung dengan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqi, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Bustami A. Ghani, K.H. Ali Maksum, dan beberapa tokoh lain dalam Dewan Penerjemah untuk menyusun “Al-Qur’an dan Terjemahannya” versi Depatemen Agama. Sebuah kitab terjemahan yang kini banyak terdapat hampir di setiap rumah kaum muslimin dan masjid-masjid di tanah air. Pada tanggal 11 bulan 11 tahun 1971, peluang Mukti Ali untuk berkarya besar bagi bangsa mulai terbuka. Karena sejak hari itu Mukti Ali mulai mengemban amanat sebagai Menteri Agama RI menggantikan KH. M. Dachlan yang belum habis masa jabatannya, dan Mukti Ali meneruskan jabatan tersebut dalam masa berikutnya yaitu Kabinet Pembangunan II. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mukti Ali, yaitu dengan gebrakan baru yang akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya dalam tulisan ini. Pada tahun 1978, setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Mukti Ali masih dipercaya oleh pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1978-1983. Setelah itu Mukti Ali lebih memilih menyibukkan diri di Yogyakarta, karena ia merasa bahwa di kota inilah hasrat akademisnya lebih mudah tersalurkan. Karir terakhirnya di dunia politik adalah kebersediaannya untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-1998 . Kiprah lainnya adalah keterlibatannya sebagai anggota Komite Kebudayaan Islam di UNESCO yang berpusat di Paris, Perancis. Ia juga menjadi anggota Dewan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, anggota Dewan Riset Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta anggota Dewan Penyantun Universitas; antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa perguruan tinggi lain. Mukti Ali juga pernah menjadi anggota Pengurus Angkatan ’45. C. Pemikiran Mukti Ali Pendidikan Islam di Indonesia dalam pandangan Mukti Ali bisa menimbulkan ketimpangan jika tidak dibenahi, karena pendidikan Islam waktu itu pengajarannya masih terpisah-pisah. Hal ini dapat dilihat misalnya orang-orang yang mempelajari tasawuf biasanya menganggap fikih sebagai ranah yang tidak begitu perlu. Demikian pula sebaliknya. Maka Mukti Ali menginginkan agar pendidikan Islam dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup segala aspek kajian dalam Islam baik tauhid, fikih, akhlaq, tasawuf, tafsir, hadist, tarikh dan sebagainya. Dengan cara itulah pendidikan Islam akan mengenai sasaran karena menjadi kemasan yang efisien untuk memahami Islam. Dari sinilah Mukti Ali memulai gagasan pembaruannya . Dengan semangat pembaruan yang ia miliki serta keprihatinnya terhadap dunia pendidikan di tanah air, maka ia mengajukan beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Mukti Ali menyoroti kurangnya bahan bacaan, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya diskusi akademis, dan masih rendahnya penguasaan bahasa asing. Empat hal inilah yang menurutnya menjadi kendala anak negeri untuk berkembang. Diakui atau tidak, empat permasalahan itu pula yang sebenarnya masih tetap ada hingga saat ini. Kegelisahan Mukti Ali tidak berhenti sampai disini, namun lebih luas lagi, bahkan diluar kajian keislaman. Disinilah tampak pemikiran modern Mukti Ali. Ia menginginkan dibudayakannya sikap ilmiah dalam berbagai bidang kajian, tentunya termasuk dalam kajian keislaman. Maka Mukti Ali mengusung paradigma “scientific cum doctriner” sebagai pendekatan yang holistik dan diharapkan dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan umat Islam Indonesia di era modern. Gagasan Mukti Ali ini juga tidak bisa dilepaskan dari iklim yang berkembang di Barat berkaitan dengan studi agama. Sejak paruh kedua abad ke-19, di Barat telah berkembang paradigma untuk melakukan studi agama dengan empat corak yaitu scientific, critical, historical, dan comparatif. Hal ini pula yang dilakukan Mukti Ali di tanah air. Mukti selalu mendorong kajian ilmiah terhadap agama-agama, apalagi melihat realitas keragaman agama dan budaya di Indonesia yang harus dikella dengan baik. Pemahaman yang mendalam terhadap pentingnya membina kerukunan antar umat beragama ini mendorong Mukti Ali untuk mencanangkan sebuah konsep pemikiran yang sangat dikenal dan menjadi icon bagi seorang Mukti Ali. Yaitu Konsep “agree in disagreement” setuju dalam ketidaksetujuan, atau sepakat dalam perbedaan. Hal ini disampaikan pertama kali oleh Mukti Ali dalam sebuah simposium di Goethe Institut Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat sebagai Menteri Agama. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dan tentunya juga semangat pembaruan yang telah dimilikinya sejak menimba ilmu di negeri orang. Berawal dari konsep agree in disagreement inilah Mukti Ali menjabarkan lebih lanjut dalam model kerukunan antar umat beragama : 1. Mukti Ali menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama. Umat satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan, misalnya dalam Islam setidaknya ada empat mazhab besar, Islam di Indonesia juga terdiri dari Muhammadiyah, NU, Masyumi, DDII, dan sebagainya. Begitu pula umat agama non Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan dalam satu agama ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin potensi tersebut berubah menjadi konflik. Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dalam tubuh umat Islam, bahkan intern ormas Islam-pun bisa terjadi bentrok antar kubu. 2. Ditekankan pula pentingnya menjaga kerukunan antar umat berbeda agama. Dalam sejarah, konflik agama di belahan bumi manapun pernah terjadi, tak terkecuali di negeri kita yang beberapa dasawarsa lalu sempat mengundang decak kagum dunia karena keberhasilannya mengelola kebhinekaan dalam semangat persatuan. Namun belakangan, konflik Ambon dan Poso adalah contoh nyata dari gagalnya pemerintah dan umat beragama mewujudkan poin kedua ini. 3. Pentingnya membina hubungan umat beragama dengan pemerintah, agar kehidupan beragama dapat dilaksanakan dengan perasaan damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali juga menyatakan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula sekuler. Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri agama, model kerukunan yang dimulai oleh Mukti Ali tersebut diteruskan oleh penggantinya yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara, dan dikemas menjadi Trilogi Kerukunan Antar Umat Beragama. Selanjutnya konsep ini diajarkan dengan baik di sekolah-sekolah dari tingkat SD bahkan hingga Perguruan Tinggi. Sehingga pendidikan akan pentingnya menghargai pluralitas dan menjaga kerukunan dapat ditanamkan pada anak bangsa. Mukti Ali juga menegaskan bahwa IAIN memiliki tugas yang sama dengan perguruan tinggi lainnya, yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi meliputi pengajaran dan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat. Mukti Ali juga mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang fungsi utamanya adalah memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. BAB III KESIMPULAN Kelebihan Mukti Ali antara lain juga tercermin dalam kemampuannya menampilkan diri sebagai sosok yang netral, bukan NU dan Bukan Muhammadiyah, bukan dari ormas atau parpol tertentu. Meskipun dia hasil didikan Barat namun keberpihakannya pada nasib bangsa Timur tak pernah diragukan. Singkatnya, banyak hal positif dapat diambil dari diri Mukti Ali, sikap tawadu’ disiplin, toleran, kegigihannya dapat diteladani. Langkah-langkah yang telah dimulainya adalah batu pijakan yang harus diteruskan karena memang sedang sangat dibutuhkan bangsa ini, buah pikirannya juga merupakan kontribusi penting yang selalu bisa dirujuk oleh generasi saat ini. Ibarat di padang gersang, Mukti Ali adalah oase tempat gembala, penduduk, dan kafilah melepas dahaga. DAFTAR PUSTAKA http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=175:mukti-ali-santri-yang-pluralis&catid=58:profil-alumni&Itemid=126 Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada.Cet. II http://jogja.tribunnews.com/2012/10/24/mukti-ali-pemikir-islam-berkarakter-kuat/ http://muslihudin.bloggspot.com/2012/04/17/trilogi-kerukunan-umat-beragama